Rabu, 04 November 2015

Saad adz-Dzariah, Sebagai Dasar Hukum Fiqh

A.    PENDAHULUAN
Islam merupakan agama rahmatan lill'alamiin yang diturunkan Allah melalui utusan-utusanNya dan di akhiri oleh Rasulullah Muhammad saw sebagai penutupnya. Proses penurunan ajaran Islam sendiri terjadi secara bertahap baik Al-Qur'an maupun Hadits. Keduanya kemudian menjadi dasar hukum Islam serta menjadi tuntunan bagi kehidupan muslim dalam kesehariannya. Pada masa kehidupan Nabi saw, semua permasalahan akan di tanyakan kepada beliau dan langsung mendapat jawaban yang kemudian di jadikan sebagai dasar hukum setiap permasalahan. Adapun setelah masa itu, para sahabat dan khalifah berperan sebagai referensi bagi masyarakat muslim pada setiap masanya dalam penjelasan hukum. Namun seiring berkembangnya zaman, Islam tetap menunjukkan eksistensinya terutama dalam menyikapi tuntutan realitas sosial yang semakin kompleks. Seperti bermunculannya berbagai permasalahan baru yang tidak dibahas secara spesifik dalam Al-Qur'an dan Hadits. Upaya tersebut di tunjukkan oleh para ulama dalam mengembangkan berbagai teori, metode dan prinsip hukum dengan merujuk kepada Al-Qur'an dan Hadits. Dan diantara metode penetapan hukum yang di kembangkan para ulama adalah sadd adz-dzari'ah. Dalam implementasi-nya metode ini merupakan upaya protective agar umat Islam lebih berhati-hati serta terhindar dari segala sesuatu yang akan menimbulkan dampak negatif. Karena pada dasarnya tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Termasuk suatu perbuatan yang belum dilakukan namun berpotensi menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka sejatinya hal-hal tersebut adalah dilarang. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam bersifat mengekang perbuatan manusia tetapi semata bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Pada dasarnya dalam mencapai setiap tujuan pastilah akan melalui beberapa proses sebagai perantara. Sehingga dalam prakteknya, setiap perantara yang menuju kebaikan adalah diperintahkan, tetapi ketika tujuannya untuk kerusakan (mafsadah) maka semua perantaranya adalah dilarang. Metode penetapan hukum seperti inilah yang dikenal dengan istilah sadd adz-dzari'ah. Namun metode ini hanyalah salah satu dari sekian metode ushul fiqh yang digunakan oleh para ulama untuk mempelajari hukum syara', sebagai pegangan dan pedoman dalam memberi fatwa dan berijtihad. Sehingga dengan mempelajari metode tersebut sekaligus dapat memahami salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam serta dedikasi para ulama baik melalui pemikiran maupun karya-karyanya. 
B.     PENGERTIAN SADD AZ-DZARI'AH
1.      Secara Etimologis
Kata Sadd adz-Dzari'ah (سَدُّ الذَّرِيْعَةُ) terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ) dan adz-dzari'ah (الذَّرِيْعَةُ). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُ) merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari (سَدَّ – يَسُدُّ - سَدًّا) artinya adalah menutup atau menyumbat[1]. Sedangkan adz-dzari'ah (الذَّرِيْعَةُ) merupakan kata benda (ism) bentuk tunggal yang berarti perantara (wasilah)[2]. Bentuk jamak dari adz-dzari'ah (الذَّرِيْعَةُ) adalah adz-dzara'i (الذَّرَائِعِ). Karena itulah, banyak ulama dalam kitab-kitab ushul fiqh menggunakan istilah Sadd adz-Dzara'i (سَدُّ الذَّرَائِعِ)[3].
Menurut sejarahnya, masyarakat Arab menggunakan kata adz-dzari'ah sebagai istilah dalam berburu. Yaitu ketika sang pemburu melepaskan unta yang mereka pergunakan untuk berburu. Setelah unta di lepaskan, maka sang pemburu akan bersembunyi di samping unta sehingga tidak akan terlihat oleh binatang buruan. Sampai ketika unta sudah dekat dengan binatang buruan, kemudian sang pemburu akan segera keluar dari persembunyiannya dan melepaskan panahnya. Dari keterangan tersebut, sehingga Ibnu Arabi berpendapat kata adz-dzari'ah digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain[4].
2.      Secara Terminologi
Menurut Al-Qarafi, sadd adz-dzari'ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka harus dicegah perbuatan tersebut[5]. Asy-Syaukani mengungkapkan, adz-dzari'ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan (jaiz) namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang[6].
Dalam karyanya al-Muwafat, Asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari'ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu')[7]. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, sadd adz-dzari'ah adalah jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan[8].
Dari beberapa pengertian diatas, tampak sebuah persamaan seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzari'ah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun berbeda dengan Ibnu al-Qayyim yang mengungkapkan tentang adz-dzari'ah sebagai sesuatu yang asalnya memang dilarang.
Berdasarkan pandangan beberapa ulama di atas, dapat dipahami bahwa sadd adz-dzari'ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan (perantara) yang pada dasarnya diperbolehkan (jaiz) maupun dilarang (mamnu') untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang. 
C.     KEDUDUKAN SADD ADZ-DZARI'AH
Menurut aspek aplikasinya, sadd adz-dzari'ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam Islam. Tetapi apabila dilihat dari produk hukumnya, sadd adz-dzari'ah adalah salah satu sumber hukum.
Namun dalam prakteknya, tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzari'ah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu pertama: menerima sepenuhnya, kedua: tidak menerima sepenuhnya dan ketiga: adalah menolak sepenuhnya[9].
Pertama, adalah kelompok yang menerima sepenuhnya sadd adz-dzari'ah sebagai metode dalam menetapkan hukum yaitu kalangan ulama madzhab Maliki dan madzhab Hambali. Hal ini diperkuat dengan usaha mereka mengembangkan metode tersebut dalam berbagai pembahasan fiqh dan ushul fiqh. Seperti Imam al-Qarafi melalui karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa' al Furuq dan Imam asy-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat.
Kedua, yaitu kelompok yang tidak menerima sepenuhnya sadd adz-dzari'ah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Dengan kata lain, kalangan ulama yang menolak sadd adz-dzari'ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu tetapi menggunakannya pada kasus (masalah) yang lain. Yaitu madzhab Hanafi dan madzhab Syafi'i[10]. Misalnya Imam Syafi'i menggunakan sadd adz-dzari'ah ketika melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Menurut beliau, hal ini akan menjadi sarana (dzari'ah) karena mencegah dalam memperoleh sesuatu yang dihalalkan Allah padahal air merupakan rahmat Allah dan siapapun berhak mendapatkannya[11]. Adapun madzhab Hanafi menggunakan metode sadd adz-dzari'ah terhadap wanita yang ditinggal mati suaminya dan selama masih dalam keadaan iddah beliau melarang wanita tersebut untuk menggunakan pakaian ataupun berhias dengan mencolok karena akan menarik lelaki. Sedangkan ia masih dalam larangan menikah, dan larangan tersebut merupakan sadd adz-dzari'ah demi mencegah perbuatan yang diharamkan yaitu menikahi perempuan dalam keadaan iddah[12].
Ketiga, adalah kelompok yang menolak sepenuhnya sadd adz-dzari'ah sebagai metode dalam menetapkan hukum yaitu madzhab Zahiri[13]. Hal tersebut sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh), sedangkan bagi mereka sadd adz-dzari'ah hanyalah produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung[14].
Untuk memperkuat penolakan terhadap metode sadd adz-dzari'ah, Ibnu Hazm (994-1064) salah satu tokoh ulama madzhab Zahiri telah membahas penolakan tersebut dalam bukunya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam pada bab al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Beliau mengatakan, bahwa konsep sadd adz-dzari'ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidaknya sesuatu. Karena boleh atau tidaknya sesuatu hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash dan ijma' (qath'i). Sesuatu yang telah di haramkan oleh nash tidak dapat dirubah menjadi halal kecuali dengan nash lain yang jelas atau melalui ijma'. Karena hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijma' dan hukum tidak bisa didasari oleh prasangka semata[15].
Sebagai ulama kalangan Az-Zahiri, Ibnu Hazm sangat keras menentang para ulama madzhab Hanafi dan Maliki ketika mereka mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras dan dikhawatirkan akan segera meninggal. Bagi ulama Hanafi dan Maliki, perkawinan tersebut akan menjadi dzari'ah bagi wanita untuk sekedar mendapatkan warisan serta menghalangi ahli waris lainnya yang sebenarnya lebih berhak. Namun menurut Ibnu Hazm, larangan tersebut merupakan pengharaman atas sesuatu yang sudah jelas kehalalannya. Karena menikah dan mendapatkan bagian waris melalui hubungan pernikahan merupakan sesuatu yang halal[16].
Dari uraian diatas, terlihat beberapa perbedaan pendapat ulama dalam penggunaan sadd adz-dzari'ah, namun secara umum para ulama tersebut tetap menggunakannya dalam menentukan hukum ketika menyelesaikan beberapa permasalahan[17]. Adapun madzhab Zahiri yang menolak secara keseluruhan sadd adz-dzari'ah, karena mereka sangatlah berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits. Sehingga semua perbuatan harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir dalam perbuatan. Menurut mereka, penggunaan sadd adz-dzari'ah hanya akan menimbulkan upaya mengharamkan sesuatu yang halal.
Bagaimanapun juga, bentuk pengharaman dalam sadd adz-dzari'ah adalah karena adanya faktor eksternal (tahrim li ghairih). Maksudnya adalah, bahwa secara substansial perbuatan tersebut tidaklah diharamkan atau tetap halal dan boleh dilakukan. Tetapi karena terdapat faktor eksternal (li ghairih) yang akhirnya menjadikan perbuatan tersebut menjadi dilarang. Jadi, seandainya tidak terdapat dampak negatif atau sudah tidak ada makan perbuatan tersebut kembali kepada hukum aslinya yaitu halal dan boleh di kerjakan.
Menurut Elliwarti Maliki, doktor alumni Al-Azhar Kairo menyatakan bahwa sadd adz-dzari'ah merupakan metode istinbath hukum yang mengakibatkan kecenderungan sikap mempertahankan diri (defensive) di kalangan umat Islam. Sehingga bisa menimbulkan ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu karena selalu di liputi perasaan takut terjerumus kedalam mafsadah. Selain itu, hukum-hukum fiqh yang dihasilkan berdasarkan sadd adz-dzari'ah akan cenderung menjadi bias gender. Karena menghasilkan pandangan ulama yang melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan mahram[18]. Hal ini mungkin tidak bisa disalahkan, namun pada dasarnya bukanlah karena kesalahan sadd adz-dzari'ah tetapi bagaimana orang tersebut menerapkannya dalam kehidupan sehari-sehari. 
E. DASAR HUKUM SADD ADZ-DZARI'AH
1. Al-Qur'an
     Surat Al-An'am ayat 108
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ (الأية)
     "Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.(QS. Al-An'am : 108)[19].
     Dalam ayat diatas, mencaci atau memaki sesembahan selain Allah merupakan dzari'ah yang akan menimbulkan mafsadah. Sehingga Allah melarang untuk memaki sesembahan selain Allah, karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah bahkan mungkin lebih, maka perbuatan tersebut menjadi dilarang[20].
2.      Hadits 
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ، قِيْلَ: ياَ رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: يَسُبُّ الرَّجُلُ أَباَ الرَّجُلُ فَيَسُبُّ أَباَهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ (رواه البخاري ومسلم وأبو داوود)
Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang, "Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya?" Rasulullah menjawab, "Seseorang mencaci-maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci-maki orang itu, dan seseorang mencaci-maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicaci-maki orang itu". (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Hadits diatas, menurut Ibnu Taimiyyah menunjukkan bahwa sadd adz-dzari'ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum syar'i, karena sabda Rasulullah tersebut sifatnya masih dugaan, namun dasar dugaan itu Rasulullah saw melarangnya[21].
3.      Kaidah Fiqh
Diantara kaidah fiqh yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari'ah adalah :
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Meninggalkan keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah)[22].
Dari kaidah diatas jelas dikatakan bahwa segala yang mengandung keburukan (mafsadah) haruslah di hindari, sehingga dapat menjadi sandaran dalam penerapan sadd adz-dzari'ah karena di dalamnya terdapat unsur mafsadah yang harus di hindari. 
مَادَلَّ عَلَى الْحَرَامِ فَهُوَ حَرَامٌ
Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan[23].
Kaidah ini menjelaskan bahwa untuk menciptakan setiap pekerjaan baik ataupun buruk pasti melalui jalan, dan ketika tujuannya adalah menciptakan pekerjaan baik hendaklah dilakukan jalan (perantara) untuk mewujudkannya. Sebaliknya, jika pekerjaan yang akan tercipta adalah sesuatu yang dilarang (haram) maka jalan untuk menuju kepada pekerjaan tersebut juga dilarang. 
4.      Logika
Secara logika, ketika seseorang memperbolehkan atau memerintahkan sesuatu maka ia juga akan memperbolehkan segala hal yang akan mengantarkan terwujudnya tersebut. Begitupun sebaliknya, ketika seseorang melarang sesuatu maka ia pun melarang segala hal yang dapat mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang itu. Misalnya : ketika mahasiswa diperintahkan untuk membuat tugas perkuliahan, maka sebenarnya dia juga diperintahkan untuk mempelajari, mencari referensi, memahami, menuliskannya kedalam sebuah makalah. Contoh lainnya, ketika di haramkannya menggunakan minuman keras dan narkoba maka sebenarnya juga di larang untuk memiliki, memproduksi dan menjual-belikan.
F. MACAM-MACAM SADD ADZ-DZARI'AH
Dilihat dari aspek akibat yang ditimbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari'ah menjadi empat macam[24], yaitu :
1.      Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Seperti mengkonsumsi minuman keras dan narkoba yang merugikan diri sendiri.
2.     Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi suatu keburukan (mafsadah). Misalnya nikah at-tahlili, yaitu menikahi perempuan yang sudah di talak tiga agar sang perempuan boleh dikawini kembali oleh mantan suaminya.
3.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak sengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, Al-Qarafi dan Asy-Syatibi membagi adz-dzari'ah menjadi tiga macam, yaitu :
1.      Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana teradinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya, menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamr, atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi pertengkaran dengan tetangga.
2.      Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci-maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci-maki Allah seketika itu pula.
3.      Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba[25].
G. PERBEDAAN ADZ-DZARI'AH DENGAN MUQADDIMAH
Kalau dilihat dari fungsinya, dapat di ilustrasikan bahwa adz-dzari'ah adalah laksana tangga yang menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana foundasi yang mendasari tegaknya dinding.
Dengan demikian, adz-dzari'ah dititik beratkan bahwa ia sekedar sarana dan jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang menjadi tujuannya. Ia bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri sendiri. Sedangkan muqaddimah lebih dititik beratkan kepada suatu perbuatan hukum yang memang bagian dari rangkaian perbuatan hukum tertentu. Muqaddimah merupakan perbuatan pendahuluan yang tidak terpisahkan dari rangkaian perbuatan. Misalnya, wudhu merupakan sesuatu perbuatan pendahuluan yang diwajibkan dalam rangkaian shalat. Sementara itu, shalat sendiri merupakan kewajiban.
H. CARA MENENTUKAN ADZ-DZARI'AH
Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi sarana (adz-dzari'ah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal[26], yaitu :
1.      Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan, baik bertujuan untuk yang halal maupun yang haram. Mengenai niat tersebut, ulama Hanafiyah dan Syafi'iyah berpendapat bahwa dasar dalam urusan dengan Allah adalah niat sedangkan yang berkaitan antar sesama hamba (manusia) adalah lafadz-nya. Sehingga berlaku kaidah :
الْمُعْتَبَرُ فِى أَوَامِرِ اللهِ الْمَعْنَى وَالْمُعْتَبَرُ فِي أُمُورِ الْعِباَدِ الإِسْمُ وَاللَّفْظُ
Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba (manusia) adalah lafadz-nya[27].
Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang perempuan talak tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan si perempuan untuk dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan yang digariskan syar'i yaitu demi membina keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
2.      Akibat suatu perbuatan yang membawa dampak negatif. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang (mafsadah), maka perbuatan itu harus dicegah. Misalnya, seorang muslim yang mencaci-maki sesembahan kaum musyrik. Niatnya mungkin untuk menunjukkan kebenaran 'aqidahnya yang menyembah Allah swt. Tetapi, akibat caciannya ini bisa membawa dampak yang lebih buruk lagi, yaitu munculnya cacian yang serupa atau lebih dari mereka terhadap Allah. Karenanya perbuatan ini dilarang[28]. Dalam hal ini berlaku kaidah :
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Kebiasaan menjadi hukum[29].
I.       KESIMPULAN DAN PENUTUP
Sadd adz-dzari'ah merupakan suatu perangkat hukum dalam Islam yang di gunakan para ulama ushul fiqh dalam menentukan hukum secara istinbath. Tujuannya adalah sebagai rambu-rambu untuk kemaslahatan umat dan agar tidak terjerumus kedalam suatu kerusakan (mafsadah). Meskipun dalam prakteknya, ada kalangan ulama dan praktisi yang menolak sadd adz-dzari'ah sebagai sebuah metode penetapan hukum namun tetaplah menjadi metode penerapan hukum yang akurat sebagaimana yang telah di lakukan oleh kalangan ulama empat madhzab. Selain itu, sadd adz-dzari'ah juga dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-sehari sebagai control baik pribadi maupun sosial. Sehingga apabila di laksanakan dengan baik, maka akan menciptakan sebuah proteksi dalam kehidupan khususnya dalam kemaslahatan bersama dan menjauhi mafsadah.
Sebagai penutup, pengkaji merasa perlu mengutip perkataan Abu Zahrah bahwa sebagai seorang mukallaf hendaklah berlaku tegas dalam menetapkan dzari'ah dasar yang harus diambil dan ditinggalkan. Namun Allah swt Maha Mengetahui mana yang muslih dan mufsid[30].
Wallahu a'lam, sekian dan semoga bermanfaat.

Referensi :
Abu Zahroh, Al-Imam Muhammad. Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958).
al-Afriqi al-Mishri, Muhammad bin Mukarram bin Manzhur. Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt).
al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim. A'lam al-Muqi'in, (Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyah, 2003).
Al-Qarafi, Syihabuddin Abu al-Abbas. Tanqih al-Fushul fi Ilm al-Ushul, dalam kitab digital al-Marji' alakbar li at turats al islami, (Syirkah al-aris al-kumbiurat).
Hakim, Abdul Hamid. ushul al-Fiqh wal qawaid al-fiqhiyah, (Jakarta: Maktabah sa'adiyah putra).
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997).
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progessif, 1984).
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001).


[1] A.W.Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progessif, 1984).
[2]  Ibid.
[3]  Seperti dalam kitab Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi.
[4] Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt).
[5] Al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi Ilm al-Ushul
[6]  Al-Manzhur.
[7] Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnati al-Maliki (Asy-Syathibi), al-Muwafaqat fi Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994).
[8]  Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A'lam al-Muqi'in, (Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyyah, 1996).
[9] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001).
[10]  Ibid.
[11] Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, al-Umm, dalam kitab Digital al-Marji' al-Akbar.
[12] Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1997).
[13]  Mazhab Zhahiri (bahasa Arab: ظاهري) adalah salah satu mazhab fikih Sunni yang dikenal karena mengharuskan berpegang pada lahiriah teks (literal) atau makna yang nampak dari teks Al-Qur'an dan Sunnah. Imam dari mazhab ini adalah Dawud bin Khalaf azh-Zhahiri yang banyak dianggap orang sebagai penggagas mazhab ini, meski sebenarnya para tokoh pengikut mazhab ini sendiri cenderung mengikuti kepada para ulama sebelumnya seperti Sufyan ats-Tsauri dan Ishaq bin Rahawaih sebagai rujukan yang dijadikan prinsip-prinsip fikih dari mazhab Zhahiri. Hal ini menjadikan mazhab ini termasuk sebagai mazhab dari generasi awal umat Islam (Wikipedia).
[14] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001).
[15]  Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998).
[16]  Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Mahalli bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003).
[17]  Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya sebuah showroom menjual kendaraan secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp. 14 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia pun kemudian menjual beli kembali kendaraan tersebut kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, kendaraan itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 12 juta. Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 14 juta dan secara tunai seharga Rp. 12 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka menolak menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam pelarangan tersebut. Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual kembali kendaraannya sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba. Bagi mazhab Syafi'i, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba, misalnya adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.

[18]  Dr. Elliwarti Maliki: Fiqh Al-Mar'ah Perspektif Perempuan, dalam http://www.fatayat.or.id
[19] Depag RI, Al-Qur'an Terjemah, (Semarang: CV.TOHA PUTRA,1989).
[20] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997).
[21] Ibid.
[22]Abdul Hamid hakim, ushul al-Fiqh wal qawaid al-fiqhiyah, (Jakarta: Maktabah sa'adiyah putra).
[23] Ibid.
[24] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A'lam al-Muqi'in, (Beirut: Dar al-Kutub al-'ilmiyah,1996).
[25]  Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa' al-Furuq, Asy-Syathibi, al-Muwafat,.
[26]  Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997).
[27]  Ibid.
[28]  Ibid.
[29] Abdul Hamid hakim, ushul al-Fiqh wal qawaid al-fiqhiyah, (Jakarta: Maktabah sa'adiyah putra).
[30] Al-Imam Muhammad Abu Zahroh, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958).

1 komentar: